Tintanarasi.com, Nasional – Presiden Prabowo Subianto telah menandatangani Undang-Undang TNI terbaru, UU Nomor 3 Tahun 2025, yang menggantikan UU Nomor 34 Tahun 2004.
Aturan baru ini mulai berlaku sejak Selasa (26/03/2025) dan membawa sejumlah perubahan penting dalam struktur pertahanan nasional, termasuk usia pensiun, perluasan tugas TNI, hingga keterlibatan militer dalam urusan sipil.
Salah satu perubahan paling mencolok ada pada Pasal 47. UU ini membuka jalan bagi prajurit TNI aktif untuk menduduki jabatan strategis di 14 lembaga sipil, seperti BNPT, Mahkamah Agung, dan Kejaksaan Agung.
Namun, untuk jabatan di luar daftar tersebut, mereka tetap diwajibkan pensiun atau mengundurkan diri. Prabowo menegaskan bahwa keterlibatan ini tetap diawasi secara ketat untuk menghindari penyalahgunaan wewenang.
“Pejabat tentara yang akan masuk ke posisi sipil tetap harus pensiun dini,” ucap Prabowo dalam wawancara bersama enam pemimpin redaksi media nasional, Senin (07/04/2025).
Prabowo menyatakan bahwa inti dari revisi UU TNI ini adalah penyesuaian usia pensiun bagi perwira tinggi. Menurutnya, pergantian pucuk pimpinan tiap tahun akibat batas usia membuat organisasi tak stabil.
“Panglima ganti tiap tahun karena pensiun. Padahal pengalaman mereka masih dibutuhkan. Kalau terus seperti ini, bagaimana organisasi bisa berkembang maksimal?” ujar Prabowo.
Berdasarkan revisi pada Pasal 53, usia pensiun perwira tinggi bintang empat kini menjadi 63 tahun, dengan kemungkinan diperpanjang dua kali masing-masing satu tahun lewat Keputusan Presiden. Bintara dan tamtama pensiun di usia 55, sedangkan perwira di usia 58 tahun.
Prabowo juga membantah tegas anggapan bahwa revisi ini adalah upaya menghidupkan kembali dwifungsi ABRI ala Orde Baru.
“Itu tidak benar. Tidak ada niat ke sana,” katanya. Ia bahkan menyebut sejarah awal dwifungsi dimulai atas inisiatif Presiden Soekarno karena situasi darurat nasional saat itu.
UU TNI 2025 juga secara resmi menetapkan bahwa TNI akan terlibat dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP), seperti penanganan ancaman siber, pengamanan objek vital nasional, serta perlindungan warga negara di luar negeri. Ini tertuang dalam Pasal 7 ayat (15) dan (16), yang memperkuat peran TNI dalam menghadapi tantangan non-tradisional.
Meski perubahan ini disebut membawa efisiensi dan adaptasi terhadap tantangan baru, beberapa pengamat menilai perlu ada batas jelas agar militer tidak terlalu dalam masuk ke ranah sipil.
Mego Widi Hakoso, pengamat kebijakan publik dari Universitas Nasional, menyebut revisi ini sebagai legalisasi dari praktik yang sudah terjadi selama ini. Ia juga menyoroti lemahnya sikap politisi sipil terhadap supremasi sipil itu sendiri.
“Revisi UU TNI ini bukan awal dari perubahan, melainkan konfirmasi atas perluasan peran militer yang sudah berlangsung,” ujar Mego.
Leave a Comment