Tintanarasi.com, Internasional – Dunia maya China dikejutkan oleh skandal besar yang melibatkan seorang pria bernama Jiao yang menggunakan identitas palsu sebagai perempuan untuk menjebak ribuan pria dalam hubungan intim yang kemudian direkam dan disebarkan secara daring.
Kasus yang dikenal dengan sebutan “Sister Hong” atau “Uncle Red” ini telah menjadi viral dan menimbulkan keprihatinan serius mengenai privasi, kesehatan masyarakat, dan etika digital.
Jiao, pria berusia 38 tahun yang tinggal di Nanjing, Provinsi Jiangsu, China timur, telah membangun persona online yang meyakinkan sebagai seorang perempuan bernama “Sister Hong” atau “Red Sister”.
Dalam operasinya, Jiao menggunakan berbagai penyamaran termasuk riasan tebal, wig, rok panjang, dan bahkan mengubah suaranya untuk terdengar lebih feminin. Ia juga memanfaatkan aplikasi filter foto dan teknologi pengubah suara untuk menyempurnakan ilusinya.
Di media sosial dan aplikasi kencan, Jiao menyajikan dirinya sebagai perempuan yang sudah bercerai dan mencari pasangan yang tulus.
Ia secara konsisten membangun citra sebagai sosok yang feminin, nurturing, dan mandiri dengan mengunggah video dirinya melakukan aktivitas rumah tangga seperti memasak, membersihkan rumah, dan berkebun.
Strategi ini terbukti sangat efektif dalam menarik perhatian pria-pria muda yang sedang mencari pasangan.
Menurut laporan awal seperti dilansir dari Tirto, Jiao mengklaim telah berhubungan intim dengan 1.691 pria. Namun, pihak kepolisian Nanjing menganggap angka tersebut dilebih-lebihkan dan belum memberikan konfirmasi jumlah yang pasti.
Yang pasti, operasi ini berlangsung selama beberapa tahun dan melibatkan ratusan hingga ribuan pria dari berbagai kalangan, termasuk mahasiswa, pekerja profesional muda, pelatih kebugaran, dan bahkan warga negara asing.
Salah satu aspek yang mencengangkan dari kasus ini adalah bahwa beberapa korban yang telah mengetahui identitas asli Jiao tetap melanjutkan hubungan mereka. Beberapa bahkan memperkenalkan teman-teman mereka kepada Jiao, menunjukkan kompleksitas psikologis dari situasi ini.
Fenomena ini mencerminkan tidak hanya tentang penipuan identitas, tetapi juga tentang dinamika seksualitas dan keingintahuan manusia yang lebih kompleks.
Jiao tidak meminta bayaran dalam bentuk uang tunai dari para korbannya, yang justru membuat skema ini terasa lebih otentik dan tidak mencurigakan.
Sebaliknya, ia hanya meminta para pengunjungnya membawa hadiah-hadiah kecil seperti buah-buahan, susu, minyak goreng, atau kebutuhan rumah tangga sederhana.
Strategi ini sangat efektif karena permintaan yang tampak polos dan tidak memberatkan justru membuat pertemuan terasa lebih tulus dan natural.
Namun, keuntungan finansial yang sesungguhnya diperoleh Jiao dari penjualan video-video rekaman tersebut.
Ia membuat grup komunitas online berbayar di mana anggota harus membayar biaya keanggotaan sebesar 150 yuan (sekitar 342 ribu rupiah) per orang untuk dapat mengakses konten-konten intim tersebut.
Sistem ini menghasilkan keuntungan yang signifikan mengingat banyaknya konten yang tersedia dan minat yang tinggi dari para pengguna internet.
Kasus ini mulai terbongkar ketika beberapa korban mengenali diri mereka dalam video yang beredar di media sosial dan melaporkan hal tersebut kepada polisi.
Pada Sabtu, 5 Juli 2025, polisi Jiangning melakukan penggerebekan terhadap apartemen Jiao dan menyita berbagai barang bukti penting.
Barang-barang yang disita meliputi beberapa wig, sisipan silikon untuk payudara, enam ponsel, dan sebuah buku catatan yang berisi 1.691 nama.
Selain itu, pihak berwenang juga menemukan banyak video berdurasi bervariasi mulai dari beberapa menit hingga lebih dari 10 menit yang dengan jelas memperlihatkan wajah dan tindakan intim para korban.
Video-video ini kemudian diunggah ke platform konten dewasa berbayar, yang semakin memperparah skandal tersebut. Jiao secara resmi ditahan oleh polisi Jiangning pada Minggu, 6 Juli 2025, atas tuduhan menyebarkan materi cabul.
Kasus Uncle Red/Sister Hong menjadi topik yang paling trending di platform media sosial China, khususnya Weibo, dengan hashtag “red uncle” mencapai posisi teratas dan meraih lebih dari 200 juta penayangan dalam hitungan hari.
Pengguna media sosial mengekspresikan berbagai reaksi mulai dari keterkejutan, kemarahan, hingga keprihatinan mendalam terhadap isu-isu privasi dan kesehatan masyarakat.
Viral-nya kasus ini juga melahirkan berbagai fenomena internet yang menarik. Banyak pengguna media sosial yang membuat meme, parodi AI, dan bahkan tutorial fashion tentang cara meniru gaya berpakaian “Sister Hong”.
Beberapa penjual wig dan toko kostum bahkan meluncurkan produk-produk seperti wig bermodel poni tumpul dan blus bermotif bunga untuk membantu pria meniru gaya “Sister Hong”.
Salah satu aspek paling meresahkan dari kasus ini adalah beredarnya foto dan video yang menampilkan wajah-wajah para korban di internet.
Meskipun polisi telah memperingatkan masyarakat untuk tidak menyebarkan konten-konten tersebut, gambar-gambar close-up dari wajah para pria tersebut tetap beredar luas di media sosial.
Hal ini menyebabkan beberapa korban diidentifikasi oleh teman, keluarga, bahkan tunangan mereka sendiri.
Terdapat beberapa kasus yang sangat menyayat hati, seperti seorang pria yang dikenali oleh ibunya sendiri sebagai guru bahasa Inggris di taman kanak-kanak setelah muncul dalam salah satu video.
Dalam kasus lain, seorang perempuan mengaku mengenali tunangannya dalam salah satu foto yang tersebar, yang kemudian menyebabkan putusnya pertunangan mereka.
Situasi ini menciptakan trauma ganda bagi para korban yang tidak hanya menjadi korban pelanggaran privasi oleh Jiao, tetapi juga oleh masyarakat yang menyebarkan identitas mereka.
Kasus ini menimbulkan keprihatinan serius terhadap kesehatan masyarakat, terutama terkait penyebaran penyakit menular seksual.
Mengingat Jiao berhubungan dengan ratusan bahkan ribuan pria, dan beberapa laporan menyebutkan bahwa hubungan tersebut dilakukan tanpa pengaman, risiko penyebaran HIV dan penyakit menular seksual lainnya menjadi sangat tinggi.
Sebagai respons terhadap kekhawatiran ini, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Nanjing mengumumkan kesiapannya untuk memberikan pemeriksaan kesehatan gratis bagi siapa saja yang merasa pernah menjadi kontak erat dengan Jiao.
Namun, pihak CDC menolak mengungkapkan status kesehatan Jiao dengan alasan melindungi privasi pasien.
Seorang pengacara menjelaskan bahwa seseorang yang melakukan hubungan intim tanpa pengaman dengan banyak orang meski mengetahui dirinya menderita penyakit menular dapat dikenai hukuman penjara 3 hingga 10 tahun.
Setelah kasus ini menjadi viral, banyak korban yang mencoba menghapus jejak digital mereka karena takut terekspos ke publik.
Namun, menariknya, seorang TikToker pria justru mengambil langkah yang berlawanan dengan secara terbuka mengaku sebagai salah satu orang yang terlibat dalam kasus “Uncle Red”.
Ia bahkan melakukan siaran langsung di Weibo dengan judul yang berkaitan dengan kasusnya dan disaksikan oleh banyak orang.
Pemerintah Kota Nanjing telah meluncurkan hotline khusus untuk mengumpulkan laporan publik terkait kasus ini.
Polisi sedang melakukan pemeriksaan medis dan menganalisis data dari ponsel yang disita untuk memverifikasi daftar lengkap korban dan komunikasi yang terjadi. Laporan investigasi akhir diperkirakan akan dirilis pada akhir Agustus 2025.
Berdasarkan hukum pidana China, menyebarkan konten cabul dapat dikenakan hukuman hingga dua tahun penjara.
Jiao juga berpotensi menghadapi tuntutan tambahan atas pelanggaran privasi dan hak potret orang lain.
Kasus ini telah menjadi preseden penting dalam diskusi tentang persetujuan digital, penipuan identitas, dan bahaya ruang online yang tidak teregulasi.
Selain aspek hukum, kasus ini juga membuka diskusi yang lebih luas tentang representasi gender di dunia maya.
Awalnya pelaku dijuluki “Kakak Merah,” namun kemudian diubah menjadi “Paman Merah” setelah banyak pihak menilai nama tersebut dapat menyudutkan perempuan.
Hal ini menunjukkan sensitivitas masyarakat terhadap isu-isu gender dan stereotipe yang dapat timbul dari kasus semacam ini.
Leave a Comment