Tintanarasi.com, Internasional – Bangladesh mengalami kekacauan sejak awal pekan lalu. Kerusuhan besar yang melanda negara tersebut telah mengakibatkan 32 warga kehilangan nyawa.
Situasi semakin memanas dengan aksi massa yang tidak terkendali. Pada Jumat (19/7), massa membakar gedung-gedung pemerintahan dan kantor polisi. Kerusuhan tidak hanya terpusat di ibu kota Dhaka, tetapi juga meluas ke setengah dari seluruh distrik di negara Asia Selatan tersebut.
Sebagai langkah darurat, otoritas Bangladesh memutuskan untuk mematikan akses internet. Aparat keamanan juga dipersiapkan untuk mengambil tindakan tegas jika massa terus berperilaku anarkistis.
Menurut laporan dari Reuters dan CNN, aksi demonstrasi besar ini dipicu oleh kebijakan kontroversial pemerintah yang memberikan 30 persen kuota pekerjaan di pemerintahan kepada keluarga yang berperang dalam perang pemisahan diri dari Pakistan pada tahun 1971.
Kebijakan ini menuai kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk para pemuda dan kelompok masyarakat yang menuntut agar kebijakan tersebut dihentikan. Mereka berpendapat bahwa pekerjaan yang dialokasikan untuk anak-anak veteran perang, yang sebagian besar berada di sektor keamanan dengan gaji tinggi, seharusnya dibuka untuk umum.
Kebijakan ini semakin menuai kontroversi karena yang mendapatkan pekerjaan dari kuota ini adalah elite politik, termasuk Perdana Menteri saat ini, Sheikh Hasina, yang merupakan anak dari pendiri Bangladesh modern, Sheikh Mujibur Rahman, yang tewas dibunuh pada tahun 1975.
Para kritikus menilai kebijakan kuota kerja ini diskriminatif karena hanya menguntungkan pendukung partai penguasa yang dipimpin oleh Hasina, yaitu Partai Liga Awami. Demonstran menuntut perekrutan kerja berdasarkan prestasi, bukan kuota, terutama mengingat tingginya angka pengangguran di Bangladesh saat ini. Kaum muda menjadi kelompok yang paling sulit mendapatkan pekerjaan di negara tersebut.
Meski di bawah kepemimpinan Hasina, Bangladesh sebenarnya menunjukkan penguatan ekonomi, namun menurut Bank Dunia, Bangladesh menjadi salah satu negara yang paling lambat dalam pemulihan ekonominya pascapandemi.
Leave a Comment