SINDOSULSEL.COM, Bandung – Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi kembali jadi sorotan usai menggagas program pembinaan karakter berbasis kedisiplinan militer, tak hanya bagi siswa bermasalah, tapi juga orang dewasa yang dianggap meresahkan lingkungan.
Rencana ini menuai tanggapan beragam dari publik, termasuk kritik tajam dari kalangan hukum dan pembela hak asasi manusia.
Dedi mengungkap bahwa program tersebut awalnya ditujukan untuk anak-anak dan remaja yang dianggap sulit ditangani oleh keluarganya.
Namun kini, targetnya diperluas mencakup orang dewasa yang kerap mabuk, membuat onar di jalanan, bahkan yang menelantarkan keluarga.
“Setelah pembinaan karakter untuk anak-anak selesai, kita akan lanjut ke orang dewasa yang perilakunya meresahkan. Preman, pemabuk, yang bikin kacau pasar dan jalanan akan kami kirim ke barak militer untuk dididik,” ujarnya melalui akun Instagram resminya pada Sabtu (10/05/2025), seperti dikutip dari Liputan6.
Menurutnya, langkah ini merupakan alternatif pembinaan bagi pelaku kenakalan sosial yang tidak memenuhi unsur pidana, namun tetap mengganggu ketertiban.
“Yang melanggar hukum tetap diproses secara pidana. Tapi yang tidak bisa dipidanakan, akan kita bawa untuk dibina,” tegasnya.
Kendati demikian, kebijakan ini mendapat reaksi keras dari sejumlah pihak. Salah satunya datang dari Adhel Setiawan, seorang pengacara sekaligus orangtua siswa di Jawa Barat.
Ia bahkan melaporkan Dedi ke Komnas HAM, menilai kebijakan itu melanggar prinsip-prinsip dasar pendidikan.
“Pendidikan seharusnya membimbing dan mengembangkan potensi anak, bukan membentuk mereka seperti benda mati. Ini pendekatan kekerasan, bukan pendidikan,” kata Adhel pada Jumat (09/05/2025).
Ia juga mengkhawatirkan potensi kekerasan, serta mempertanyakan legalitas pelibatan militer dalam urusan pendidikan sipil.
Lebih jauh, Adhel menuding Dedi telah menyalahgunakan kewenangan sebagai gubernur.
“Tidak ada dasar hukum yang membolehkan militer menangani pendidikan siswa. Ini bentuk penyalahgunaan wewenang,” imbuhnya.
Menanggapi kritikan itu, Dedi mengklaim bahwa program tersebut lahir dari aspirasi para orangtua yang sudah tak sanggup membina anak-anak mereka sendiri.
“Kami hanya menerima siswa yang secara sukarela diserahkan oleh keluarganya,” ujarnya.
Ia bahkan menyebut para peserta di barak merasa nyaman karena kebutuhan gizi, istirahat, hingga aktivitas olahraga terpenuhi.
“Mereka malah happy, lebih disiplin, lebih sehat,” kata Dedi.
Sementara itu, Menteri HAM Natalius Pigai justru mendukung kebijakan Dedi. Ia meyakini pendekatan militer ini bukan bentuk kekerasan, melainkan sarana pendidikan karakter.
“Menurut saya ini bukan pelanggaran HAM, tapi upaya menumbuhkan tanggung jawab,” ujarnya.
Pigai bahkan menyarankan agar program semacam ini bisa direplikasi di tingkat nasional jika terbukti berhasil.
Leave a Comment