Ada kalanya ketika kita harus mengejar banyak hal, kau tiba-tiba menyadari ada begitu banyak yang harus dibetulkan, yang harus diselesaikan.
Alih-alih meletakkan harapan di atas segala sesuatu yang sudah terjadi, kau justru terjebak dalam berbagai ekspektasi yang makin menyiksa diri sendiri.
Tarik napas, duduk dulu. Mari kita bercerita, pelan-pelan agar napas dan harapanmu tidak terus terburu-buru.
Tintanrasi.com, Ragam – Di tengah dunia yang serba cepat dan penuh tekanan, kita sering kali merasa harus terus bergerak tanpa henti.
Padahal, ada saatnya kita perlu berhenti sejenak, menarik napas, dan menyadari bahwa kita hanyalah manusia dengan segala keterbatasan.
Buku Duduk Dulu karya Syahid Muhammad hadir sebagai pengingat bahwa tidak apa-apa untuk merasa lelah, kecewa, atau gagal. Yang terpenting adalah bagaimana kita menerima, memahami, dan akhirnya bangkit dari setiap pengalaman hidup yang kita lalui.
Buku ini bukan hanya sekadar kumpulan kalimat penghiburan bagi mereka yang sedang mengalami kelelahan mental atau emosional.
Lebih dari itu, Duduk Dulu adalah ajakan untuk berdialog dengan diri sendiri, mengenali luka yang ada, dan memahami bahwa setiap emosi—baik itu bahagia, marah, sedih, ataupun kecewa—memiliki tempatnya masing-masing dalam perjalanan hidup seseorang.
Salah satu poin yang ditekankan dalam buku ini adalah bagaimana kita sering kali mencari validasi dari orang lain untuk merasa cukup.
Kita mengharapkan kehadiran orang-orang yang selalu siap mendengarkan keluh kesah kita, padahal sebenarnya, penerimaan dan dukungan terbesar bisa datang dari diri sendiri.
Buku ini mengajarkan bahwa sebelum kita meminta pengakuan dari orang lain, kita harus lebih dulu belajar menerima dan mencintai diri sendiri.
Selain itu, Duduk Dulu juga membahas tentang kegagalan dan bagaimana kita harus menyikapinya.
Tidak semua usaha akan langsung membuahkan hasil, dan tidak semua jalan yang kita tempuh akan berjalan mulus.
Ada kalanya apa yang kita perjuangkan belum terwujud bukan karena kita tidak layak, tetapi karena waktunya belum tepat.
Kita boleh kecewa, bahkan menangis, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana kita bangkit dan mencoba lagi.
Bagian lain yang menarik dalam buku ini adalah pembahasan mengenai perasaan kesepian.
Sering kali, kita merasa sendiri dan menganggap bahwa tidak ada yang benar-benar peduli dengan keberadaan kita.
Padahal, kenyataannya, ada banyak cara orang menunjukkan kasih sayang, termasuk melalui doa dan perhatian yang mungkin tidak selalu terlihat secara langsung.
Amarah juga menjadi salah satu tema yang dibahas dalam Duduk Dulu.
Syahid Muhammad menyoroti bahwa marah adalah emosi yang wajar, tetapi cara kita menyalurkan amarah itulah yang harus diperhatikan.
Daripada meledak-ledak dan melukai orang lain, ada baiknya kita mencari cara yang lebih sehat untuk melepaskan emosi negatif, seperti dengan menulis, menggambar, atau melakukan aktivitas yang kita sukai.
Buku ini juga menyoroti bagaimana kita sering kali menjadi musuh bagi diri sendiri dengan terus menyalahkan diri atas kesalahan yang telah terjadi.
Padahal, kesalahan adalah bagian dari proses belajar.
Alih-alih terjebak dalam rasa bersalah, kita seharusnya menjadikannya sebagai bahan refleksi untuk tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik.
Salah satu kutipan yang paling mengena dalam buku ini adalah: “Mereka yang mampu menikmati perlahan, tidak akan kalah oleh kecepatan siapapun.”
Kutipan ini menjadi pengingat bahwa kita tidak perlu terburu-buru dalam mencapai sesuatu.
Setiap orang memiliki jalannya masing-masing, dan apa yang penting bukanlah seberapa cepat kita sampai, tetapi bagaimana kita bisa menikmati setiap langkah dalam perjalanan kita.
Dengan gaya bahasa yang hangat dan narasi yang dekat dengan keseharian, Duduk Dulu bukan hanya sekadar buku motivasi, tetapi juga teman yang menemani perjalanan kita dalam memahami diri sendiri.
Buku ini mengajak kita untuk melihat kehidupan dari sudut pandang yang lebih luas, menerima ketidaksempurnaan, dan merayakan setiap langkah kecil yang kita ambil menuju versi terbaik dari diri kita sendiri.
Leave a Comment