Tintanarasi.com, Ekonomi – Gibran Huzaifah, pendiri dan mantan CEO eFishery, akhirnya membuka suara dan mengakui telah memoles laporan keuangan perusahaan unicorn asal Indonesia yang bergerak di sektor akuakultur.
Dalam wawancara selama lima jam dengan Bloomberg News, Gibran mengungkapkan motif di balik tindakannya yang dia klaim sebagai upaya “bertahan hidup”, bukan untuk mencuri dana investor.
“Anda melihat diri Anda di cermin dan ketika Anda melakukan sesuatu yang salah, Anda tahu bahwa Anda tidak bangga dengan diri Anda sendiri,” ungkap Gibran dalam wawancara tersebut. “Saya pikir saya hanya melakukannya untuk bertahan hidup.”
Berdasarkan pengakuan Gibran, manipulasi data keuangan dimulai pada akhir 2018, ketika perusahaan yang saat itu memiliki 100 karyawan hampir kehabisan dana operasional. Perusahaan hanya memiliki uang tunai sebesar US$8.142 pada Desember 2017, menurut pengajuan regulasi di Singapura.
Dalam kondisi mendesak tersebut, Gibran mengambil jalan pintas dengan membuat dua versi laporan keuangan—satu untuk tim internal dan satu lagi (versi yang dimanipulasi) untuk para investor.
Metode ini berhasil meyakinkan investor untuk terus mengucurkan dana dan membantu eFishery terhindar dari kebangkrutan.
“Saya tahu itu salah. Namun ketika semua orang melakukannya dan mereka masih baik-baik saja dan tidak pernah ketahuan, Anda akan mempertanyakan apakah langkah itu benar-benar salah,” tutur Gibran, mengakui bahwa dia mendapat “saran” dari sesama pendiri startup di Indonesia untuk memalsukan angka.
Investigasi internal mengungkapkan bahwa klaim pendapatan eFishery sebesar US$752 juta dalam sembilan bulan pertama tahun 2024 ternyata jauh dari kenyataan.
Angka sebenarnya hanya US$157 juta. Perbedaan yang sangat signifikan ini menyebabkan investor kehilangan setidaknya US$300 juta.
Beberapa dokumen yang beredar menunjukkan ketimpangan antara laporan eksternal dan internal selama bertahun-tahun.
Pada 2022, laporan eksternal menunjukkan pendapatan Rp 5,8 triliun, sementara laporan internal hanya Rp 4,3 triliun.
Bahkan pada 2023, dilaporkan adanya pendapatan Rp 10,8 triliun kepada investor, padahal angka internal hanya menunjukkan Rp 6 triliun.
Hasil penyelidikan juga mengungkap bahwa eFishery sebenarnya mengalami kerugian terbesar mencapai Rp 784 miliar pada 2022, bukan keuntungan seperti yang dilaporkan kepada investor.
Manipulasi tersebut telah menipu sejumlah investor ternama, termasuk SoftBank Group Corp (Jepang), Temasek Holdings Pte (Singapura), Chamath Palihapitiya’s Social Capital, Sequoia dari India, hingga 42XFund dari Abu Dhabi.
Mayoritas investor ini menolak atau tidak merespons permintaan komentar dari media.
Sebelum terungkapnya skandal ini, eFishery telah dikenal sebagai salah satu startup unicorn kebanggaan Indonesia dengan valuasi US$1,4 miliar dan memiliki sekitar 2.000 karyawan.
Startup yang didirikan pada 2013 ini menawarkan solusi akuakultur berbasis teknologi, terutama pakan otomatis (eFeeder), yang membantu petambak meningkatkan produktivitas.
Skandal eFishery tidak hanya berdampak pada para investor, tetapi juga mengakibatkan perusahaan menghentikan operasionalnya sejak Desember 2024. Sekitar 2.000 karyawan terkena dampaknya, dengan hampir 90% di antaranya mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Para petambak dan pembudidaya ikan yang selama ini mengandalkan teknologi serta fasilitas kredit “Kasih Bayar Nanti” (KABAYAN) dari eFishery juga terancam mengalami kesulitan. Seperti yang disampaikan oleh Pak Mario, seorang petani ikan di Ciseeng, Bogor, “Fasilitas kredit seperti KABAYAN sangat membantu kami dalam membeli pakan. Kredit ini memberikan kelonggaran dalam pembayaran, sehingga kami bisa fokus pada budidaya.”
Prof. Dr. Yudi Nurul Ihsan, Pakar Perikanan dari Universitas Padjadjaran, menyebut eFishery sebagai pelopor dalam digitalisasi perikanan.
“Keberadaan eFishery membantu meningkatkan efisiensi dan produktivitas petani. Namun, tantangan dalam manajemen keuangan menjadi pelajaran penting bagi startup di sektor agritech,” katanya.
Menurut Ali Riza Fahlevi, pengamat ekonomi dan akademisi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Telkom University, skandal ini tidak bisa hanya dilihat sebagai kesalahan manajemen semata, tetapi merupakan persoalan multi pihak.
“Skandal akuntansi seperti ini hampir mustahil hanya melibatkan manajemen. Jika kita melihat skandal keuangan besar dunia, seperti kasus Enron 2002 yang melibatkan firma akuntansi Arthur Andersen, kejadian ini menunjukkan bahwa fraud bukan hanya tanggung jawab perusahaan, tetapi juga kantor akuntan publik, bursa, dan konsultan,” jelas Ali.
“Investor tentunya melakukan due diligence sebelum menanamkan modal, apalagi dengan nilai investasi yang fantastis. Jadi, mustahil jika skandal ini hanya melibatkan manajemen tanpa keterlibatan atau setidaknya kelalaian dari pihak lain yang memiliki peran dalam tata kelola perusahaan,” lanjutnya.
Kasus eFishery menjadi peringatan keras bagi ekosistem startup di Indonesia. Skandal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan agresif yang didorong oleh pendanaan investor tidak selalu berbanding lurus dengan keberlanjutan bisnis.
Banyak startup di Indonesia yang terjebak dalam “perangkap valuasi,” di mana mereka lebih fokus pada peningkatan nilai perusahaan untuk menarik investor, ketimbang membangun bisnis yang benar-benar berkelanjutan.
Strategi “bakar uang” tanpa model bisnis yang kuat terbukti berpotensi membawa kehancuran.
Untuk menciptakan ekosistem startup yang lebih sehat, dibutuhkan peningkatan transparansi dan tata kelola yang baik, perubahan fokus dari mengejar valuasi tinggi menjadi memprioritaskan profitabilitas, serta edukasi bagi investor untuk lebih memahami risiko investasi di sektor startup.
Pemerintah juga diharapkan dapat berperan dengan menerapkan regulasi yang lebih ketat dan mekanisme pengawasan yang lebih kuat untuk meminimalkan risiko manipulasi keuangan dan praktik tidak sehat lainnya.
Meski dihantam skandal besar, beberapa pengamat masih melihat potensi eFishery untuk bangkit kembali.
Terlepas dari laporan keuangan eksternal yang dimanipulasi, pencapaian bisnis eFishery sebenarnya cukup impresif.
Per tahun, eFishery sempat mendapatkan tambahan pendapatan hingga Rp 2 triliun (pertumbuhan 50%) pada 2023, salah satu yang terbesar dalam dunia perikanan Indonesia.
Dari sisi profitabilitas, meskipun masih mencatat kerugian bersih, angkanya jauh lebih kecil dibandingkan perusahaan teknologi lain yang saat IPO masih mencatatkan kerugian lebih dari Rp 1 triliun per tahun.
“Jika evaluasi menyeluruh dilakukan dan kepercayaan petani serta investor dapat dipulihkan, eFishery masih bisa menjadi pemain utama di industri akuakultur,” kata Prof. Dr. Yudi Nurul Ihsan.
Namun, untuk bisa bangkit kembali, eFishery perlu melakukan restrukturisasi menyeluruh dan membangun model bisnis yang lebih transparan dan akuntabel.
Kepercayaan yang telah rusak akibat skandal ini tidak akan mudah dipulihkan tanpa perubahan fundamental dalam tata kelola perusahaan.
Leave a Comment