Tintanarasi.com, Religi – Perbedaan pandangan politik seringkali menjadi pemicu perpecahan yang tajam.
Namun, lembaran sejarah Islam mencatat sebuah fenomena menarik tentang bagaimana dua figur agung, Ali bin Abi Thalib dan Aisyah Radhiyallahu ‘anha, mengelola konflik yang berujung pada Perang Jamal (Perang Unta) dengan tetap menjunjung tinggi adab dan persaudaraan.
Dinamika hubungan keduanya berubah pasca wafatnya Rasulullah SAW, dan mencapai puncaknya setelah syahidnya Khalifah Utsman bin Affan.
Umat Islam kala itu terpolarisasi. Ali bin Abi Thalib, yang didesak dan dibaiat menjadi khalifah, memandang perlunya stabilitas negara sebelum melakukan penegakan hukum.
Sebaliknya, Aisyah memegang teguh prinsip bahwa pengusutan tuntas pembunuh Utsman harus menjadi prioritas utama sebelum urusan pemerintahan lainnya.
Perbedaan ijtihad politik ini sayangnya bermuara pada pertemuan dua kubu besar di medan laga.
Aisyah turun ke gelanggang dengan menunggangi unta bernama Askar, yang kemudian menjadi ikon pertempuran tersebut.
Namun, di tengah berkecamuknya perang yang menelan ribuan korban jiwa itu, sisi kemanusiaan dan keimanan tetap bersinar.
Ali bin Abi Thalib tidak menyembunyikan kesedihannya melihat jatuhnya korban dari kalangan Quraisy, termasuk sahabat dekat Nabi seperti Thalhah dan Zubair.
Bahkan, Ali dengan tegas melaknat pembunuh Zubair dengan ancaman neraka.
Sikap ksatria Ali terlihat jelas saat Aisyah berada dalam bahaya.
Ketika unta Aisyah menjadi sasaran panah, Ali justru memerintahkan Muhammad bin Abu Bakr untuk segera membuat barikade perlindungan agar Ummul Mukminin tidak terluka.
Ini membuktikan bahwa lawan politik bukanlah musuh yang harus dihancurkan martabatnya.
Pasca perang usai, rekonsiliasi terjadi dengan sangat elegan.
Ali tidak memperlakukan Aisyah sebagai tawanan perang, melainkan tetap sebagai Ibu kaum Mukminin yang harus dihormati.
Ali menyiapkan seluruh perbekalan untuk kepulangan Aisyah dari Basrah dan mengutus 40 wanita terhormat untuk mengawalnya.
Momen perpisahan di Basrah menjadi bukti nyata bersihnya hati kedua tokoh ini.
Di hadapan orang banyak, Aisyah memberikan pernyataan yang menyejukkan:
“Wahai anakku, tidak boleh ada yang saling mencaci di antara kita. Demi Allah, dahulu kala antara aku dan Ali tidak ada apa-apa kecuali sebagaimana yang terjadi antara seorang wanita dengan ibu mertuanya, dan Ali menurutku adalah yang terbaikm,” ujar Aisyah kala itu seperti dikutip dari NU.or.id.
Pernyataan tulus tersebut langsung disambut oleh Ali dengan pengakuan yang tak kalah mulia:
“Demi Allah, tidak ada apa pun antara saya dan Aisyah melainkan sebagaimana disinggung oleh beliau tadi. Beliau adalah istri Nabi kalian semua di dunia dan akhirat.”
Tidak hanya dalam urusan perasaan, objektivitas keilmuan juga tetap terjaga.
Diriwayatkan bahwa Syuraih bin Hani pernah bertanya kepada Aisyah mengenai hukum mengusap sepatu (khuff).
Meski memiliki kapasitas keilmuan yang tinggi, Aisyah justru menyarankan Syuraih untuk bertanya kepada Ali bin Abi Thalib.
Alasannya sangat objektif: Ali lebih sering bepergian (safar) bersama Rasulullah SAW sehingga lebih memahami praktik tersebut.
Sebaliknya, Ali pun mengakui kecerdasan Aisyah.
Dalam sebuah riwayat, Ali pernah berujar, “Andai jabatan khalifah dapat diduduki perempuan, niscaya Aisyah lah orangnya!”
Kisah ini mengajarkan bahwa perbedaan pilihan politik dan ijtihad dalam memandang persoalan umat tidak semestinya menghapus rasa hormat, kejujuran ilmiah, dan ikatan persaudaraan sesama Muslim







Leave a Comment