Tintanarasi.com, Ragam – World Coin adalah aset digital yang menjadi bagian inti dari jaringan World, yang dapat digunakan dalam sistem blockchain milik mereka, World Chain. Uniknya, token ini bisa diperoleh secara cuma-cuma oleh individu yang telah melalui verifikasi biometrik menggunakan perangkat pemindai mata bernama Orb—tentu selama tidak bertentangan dengan hukum negara setempat.
Kripto ini berperan sebagai alat pembayaran dalam berbagai aspek ekosistem World, termasuk sebagai pengganti biaya gas (transaksi) di jaringan World Chain. Selain itu, token World Coin dapat dipakai dalam berbagai aplikasi dan permainan digital yang terhubung dengan ekosistem tersebut.
World Chain, sebagai infrastruktur pendukung, dirancang dengan prinsip keterbukaan dan tanpa izin (permissionless). Platform ini diklaim sebagai blockchain yang disusun khusus untuk pengguna manusia asli, dengan pendekatan komunitas dan pengelolaan terbuka.
Fitur-fitur andalannya meliputi pembebasan biaya transaksi untuk pengguna terverifikasi, sistem distribusi token melalui aplikasi mini di World App, pengalaman transaksi yang disederhanakan, serta perlindungan terhadap serangan identitas palsu (Sybil attack) dengan World ID.
Pada Hari Senin (28/04/2025), media sosial ramai membahas tawaran kompensasi Rp800.000 bagi individu yang bersedia memberikan data retina mereka kepada World App di Bekasi. Fenomena ini memicu kekhawatiran publik dan langsung mendapat perhatian dari Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).
Komdigi kemudian mengumumkan penghentian sementara terhadap izin operasional World Coin dan World ID, dengan membekukan status TDPSE (Tanda Daftar Penyelenggara Sistem Elektronik). Kebijakan ini bersifat preventif guna melindungi masyarakat dari risiko kebocoran data sensitif.
Investigasi awal mengungkap bahwa perusahaan lokal yang mengelola World App, yakni PT Terang Bulan Abadi, ternyata belum memiliki TDPSE resmi. Bahkan, TDPSE yang digunakan untuk Worldcoin tercatat atas nama entitas berbeda, yaitu PT Sandina Abadi Nusantara. Hal ini menimbulkan kecurigaan tentang legalitas dan kepatuhan hukum mereka.
Direktur Pengawasan Ruang Digital Komdigi, Alexander Sabar, menegaskan bahwa menggunakan badan hukum berbeda untuk kegiatan digital di Indonesia merupakan pelanggaran serius terhadap aturan perlindungan data elektronik.
Startup di balik World Coin, yaitu Tools for Humanity (TFH), menyampaikan bahwa mereka secara sukarela menghentikan sementara proses verifikasi di Indonesia. Mereka mengklaim telah melakukan diskusi aktif dengan otoritas setempat guna menyesuaikan diri dengan regulasi yang berlaku.
TFH menekankan bahwa teknologi yang mereka kembangkan bertujuan untuk memastikan keunikan individu, terutama di era kecerdasan buatan di mana penyalahgunaan identitas dan rekayasa digital seperti deepfake semakin meluas. Mereka juga mengklaim bahwa data pengguna tidak disimpan secara permanen.
Meski demikian, TFH mengakui bahwa inovasi baru kerap menimbulkan reaksi negatif di awal. Mereka membandingkan situasi ini dengan masa awal kehadiran ponsel atau komputer yang dahulu juga sempat menuai keraguan.
Penggunaan data biometrik, khususnya retina mata, menimbulkan kekhawatiran besar terkait privasi. Data semacam ini bersifat tetap dan tidak dapat diubah, sehingga kebocoran bisa menimbulkan risiko permanen.
Meski pihak World mengklaim data retina langsung dihapus setelah diproses di Orb, tidak ada audit independen yang membuktikan klaim tersebut. Ditambah lagi, World App dikabarkan juga menangkap citra tubuh, wajah, dan mendeteksi tanda vital seperti detak jantung—mengumpulkan data jauh lebih banyak dari sekadar keperluan verifikasi.
Dalam kerangka hukum Indonesia, praktik semacam ini wajib ditelaah secara ketat. Prinsip transparansi, minimalisasi data, serta persetujuan yang jelas dari pengguna menjadi syarat utama agar teknologi seperti ini dapat diterima secara legal dan etis.
Leave a Comment