Tintanarasi.com, Jakarta – Kebijakan pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam pengamanan fisik kantor-kantor kejaksaan di seluruh Indonesia terus menuai reaksi beragam, dari apresiasi hingga kecaman keras.
Langkah ini dipicu oleh Surat Telegram Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto bernomor TR/422/2025 tertanggal Senin (05/05/2025), yang memerintahkan pengerahan pasukan dari satuan tempur untuk mendukung pengamanan di Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri.
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, menegaskan bahwa kerja sama antar lembaga negara seperti ini adalah hal yang wajar.
Dalam sebuah diskusi publik di Jakarta pada Sabtu (17/05/2025), ia menyebut keberadaan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer (Jampidmil) sebagai alasan logis bagi TNI untuk turut terlibat dalam pengamanan. Ia menampik anggapan bahwa ini adalah langkah darurat atau upaya represif.
“Bukan berarti TNI akan berjaga dengan senjata lengkap menghadapi massa. Ini hanya soal keamanan fisik gedung dan aset, bukan ikut dalam proses hukum,” jelas Hasan.
Pernyataan serupa disampaikan oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar. Ia menegaskan bahwa keterlibatan TNI tidak berkaitan dengan proses hukum dan murni bersifat teknis.
Namun, respons masyarakat sipil dan sejumlah pakar justru mencerminkan kekhawatiran akan potensi pelanggaran konstitusi. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyebut langkah ini sebagai bentuk intervensi militer ke ranah sipil yang mengarah pada kebangkitan kembali dwifungsi TNI.
Pengamat militer dari Lesperssi, Beni Sukadis, menilai kebijakan ini telah menyimpang dari tugas pokok TNI sebagaimana tertuang dalam UU TNI.
Ia mengingatkan bahwa pelibatan militer di sektor sipil seharusnya dilakukan hanya melalui mekanisme Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dan memerlukan keputusan politik negara.
Sementara itu, Ketua Setara Institute, Hendardi, secara tegas meminta Panglima TNI dan KSAD menarik kembali surat telegram tersebut karena dianggap melanggar sejumlah regulasi, termasuk UUD 1945 dan UU Kekuasaan Kehakiman.
Dari sisi politik, kebijakan ini memunculkan spekulasi bahwa Presiden Prabowo Subianto tengah berupaya memperkuat pengaruhnya di sektor penegakan hukum, yang selama ini dinilai lebih dekat dengan Presiden sebelumnya, Joko Widodo.
Firman Noor, peneliti dari BRIN, menyebut langkah ini sebagai indikasi perebutan dominasi antara dua tokoh nasional.
Namun, klaim tersebut ditampik oleh Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, yang menyebut tudingan tersebut sebagai narasi yang hanya akan memecah belah masyarakat.
Di lapangan, belum terlihat implementasi kebijakan secara merata. Pantauan di Kejaksaan Tinggi Sumatra Utara pada Kamis (15/05/2025) menunjukkan bahwa belum ada kehadiran aparat TNI, hanya petugas pengamanan internal yang berjaga.
Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayjen Kristomei Sianturi, menekankan bahwa pengerahan personel dilakukan sesuai dengan Nota Kesepahaman yang telah disepakati sejak April 2023. Ia menyebutkan bahwa kerja sama ini bersifat rutin dan preventif, bukan bentuk militerisasi.
Meski begitu, sejumlah pengamat tetap mendesak evaluasi serius terhadap mekanisme pelibatan militer dalam tugas-tugas sipil. Mereka menekankan pentingnya batas yang jelas agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dan agar reformasi sektor keamanan tetap berada di jalur konstitusional.
Leave a Comment