Tintanarasi.com, Hukrim – Di era digital seperti sekarang, platform seperti Facebook dan Telegram makin sering dimanfaatkan para pencari kerja untuk mencari peluang baru.
Sayangnya, kemudahan ini juga jadi celah bagi kelompok kriminal yang menjerat ribuan profesional muda Indonesia ke jaringan penipuan online terorganisir.
Banyak lowongan kerja, khususnya di bidang IT, tersebar di media sosial dengan iming-iming gaji besar dan fasilitas keren.
Namun, banyak pelamar justru berakhir di pusat penipuan di kawasan Asia Tenggara, seperti perbatasan Myanmar, Kamboja, Laos, dan Filipina. Di sana, mereka dipaksa menjalankan operasi scam digital.
Para korban diajari memanfaatkan teknologi canggih, mulai dari deepfake, kloning suara, hingga model bahasa AI untuk menipu korban di seluruh dunia.
Komunikasi antara pelaku dan korban dilakukan lewat aplikasi seperti Telegram dan WhatsApp, bahkan menggunakan AI untuk membuat video palsu secara instan.
Sasaran utama mereka adalah orang-orang yang mudah percaya hingga akhirnya kehilangan seluruh tabungan.
Salah satu korban, lulusan IT berusia 26 tahun asal Sumatera Barat, mengaku tertarik dengan lowongan spesialis SEO di perusahaan trading Singapura.
Setelah interview via Telegram, ia diterbangkan ke Kamboja dengan janji gaji USD 800 per bulan.
Kenyataannya, paspor disita, ia harus kerja 15 jam sehari dengan target penipuan USD 40.000 per bulan.
Pemerintah Indonesia sudah membentuk tim khusus untuk membasmi perekrutan ilegal ini dan berhasil menyelamatkan lebih dari 7.000 pencari kerja pada Senin (02/06/2025).
Namun, sindikat terus berkembang, memanfaatkan teknologi dan celah hukum.
Fenomena ini jadi pengingat pentingnya kehati-hatian saat melamar pekerjaan secara online.
Verifikasi informasi lowongan dan waspada pada tawaran yang terdengar terlalu indah harus jadi prioritas. Kolaborasi antara pemerintah, platform digital, dan masyarakat sangat dibutuhkan untuk melindungi pencari kerja dari jebakan sindikat digital.
Leave a Comment