Tintanarasi.com, Internasional – Amerika Serikat dan Kerajaan Arab Saudi resmi mengesahkan paket kerja sama pertahanan dengan nilai fantastis, mencapai 142 miliar dolar AS atau sekitar Rp2.352 triliun.
Pemerintah AS menyatakan bahwa ini merupakan kesepakatan pertahanan terbesar yang pernah tercatat.
Presiden AS saat itu, Donald Trump, tengah menjalankan kunjungan resmi selama empat hari di kawasan Timur Tengah.
Lawatan tersebut berfokus pada peningkatan kerja sama ekonomi dan diplomasi transaksional yang menjadi ciri khas kebijakan luar negeri Trump.
Lawatan ini tidak hanya bermuatan simbolik, tetapi juga menjadi upaya untuk menunjukkan pencapaian cepat pemerintahan Trump melalui kerja sama bernilai besar yang menguntungkan sektor industri pertahanan Amerika.
Dalam jamuan makan siang kenegaraan, Putra Mahkota Mohammed bin Salman menyampaikan komitmen investasi sebesar 600 miliar dolar AS (Rp6.628 triliun) yang mencakup berbagai sektor strategis.
Termasuk di dalamnya pembangunan pusat kecerdasan buatan senilai 20 miliar dolar AS, pembelian teknologi turbin dan alat energi seharga 14,2 miliar dolar AS, serta pembelian pesawat Boeing 737-8 hampir mencapai 5 miliar dolar AS.
Kendati begitu, rincian dari total komitmen tersebut masih belum sepenuhnya diumumkan secara publik.
Beberapa proyek bahkan disebut telah mulai dirintis semasa kepemimpinan Presiden Joe Biden.
Kesepakatan ini membuka jalan bagi lebih dari selusin perusahaan pertahanan asal AS untuk menyalurkan produk dan layanan militer mereka.
Termasuk teknologi udara dan sistem luar angkasa yang semakin strategis dalam konflik global.
Ketibaan Trump di Riyadh disambut dengan kehormatan tinggi, termasuk iring-iringan jet tempur F-15 milik Kerajaan Saudi.
Ia bertemu Raja Salman di Istana Al Yamamah, didampingi para tokoh bisnis dari kedua negara.
Nama-nama besar turut hadir dalam forum ini, termasuk Elon Musk, Sam Altman, serta pimpinan perusahaan besar seperti IBM, Nvidia, Palantir, Citigroup, dan BlackRock.
Kunjungan ini juga mencerminkan pergeseran pendekatan geopolitik AS, yang lebih mengedepankan keuntungan domestik dan stabilitas ekonomi dibandingkan komitmen multilateral atau aturan internasional.
Namun, kritik muncul dari sejumlah pengamat yang menilai bahwa langkah ini memperkuat dominasi kelompok bisnis yang dekat dengan Trump, serta membuka potensi konflik kepentingan, mengingat hubungan bisnis keluarga Trump di wilayah Teluk.
Pada forum investasi Selasa (13/05/2025), Trump menyatakan niatnya untuk mencabut sanksi terhadap Suriah, setelah melakukan pembicaraan dengan Putra Mahkota Mohammed bin Salman dan Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan.
“Saya akan menginstruksikan pencabutan sanksi ekonomi terhadap Suriah agar mereka bisa membangun kembali negaranya,” ujar Trump, sebagaimana dilaporkan oleh The Guardian, Rabu (14/05/2025).
Trump dijadwalkan akan bertemu pemimpin baru Suriah, Ahmed al-Sharaa, seorang mantan tokoh pemberontak yang memimpin penggulingan Bashar al-Assad.
Tim Sharaa disebut menawarkan akses minyak, kontrak pembangunan, serta rencana pendirian Trump Tower di Damaskus sebagai imbalan pencabutan sanksi.
Meski detail teknisnya belum diumumkan, pihak Suriah sudah menyambut baik rencana tersebut.
Leave a Comment