Perlu Bayar Royalti untuk Putar Lagu Kebangsaan?

ochaapp

No comments
Ilustrasi

Tintanarasi.com, Nasional – Polemik soal kewajiban membayar royalti atas pemutaran lagu kebangsaan Indonesia Raya kembali menjadi sorotan publik.

Isu ini mencuat seiring pernyataan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang menyebut bahwa lagu kebangsaan tetap dikenai royalti jika digunakan dalam konteks komersial, seperti pertunjukan orkestra atau konser berbayar.

Namun, pernyataan tersebut memicu respons keras dari kalangan akademisi dan praktisi hukum.

Dalam sidang uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta di Mahkamah Konstitusi pada Kamis (07/08/2025), pemerintah melalui ahli hukum menegaskan bahwa pemutaran lagu Indonesia Raya tidak termasuk pelanggaran hak cipta.

Guru besar dari Universitas Padjadjaran, Ahmad M. Ramli, yang hadir sebagai ahli dari pemerintah, menjelaskan bahwa lagu kebangsaan dikategorikan sebagai bentuk “penggunaan wajar” atau fair use, sebagaimana tertuang dalam Pasal 43 huruf a UU Hak Cipta.

Menurutnya, bentuk publikasi, perbanyakan, dan distribusi lagu kebangsaan bukanlah pelanggaran.

“Lagu kebangsaan tidak hanya sekadar karya seni, tapi juga simbol identitas nasional. Karena itu, penggunaannya dalam kehidupan publik justru dianjurkan, bukan dibatasi dengan kewajiban membayar royalti,” ujar Ramli dalam persidangan, seperti dikutip dari ntvnews.

Ia menambahkan bahwa Indonesia Raya telah menjadi bagian dari domain publik karena usianya yang sudah lebih dari 70 tahun.

Lagu yang diciptakan oleh W. R. Supratman dan diperkenalkan dalam Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928 itu merupakan warisan budaya yang harus dijaga dan disosialisasikan, bukan dikomersialisasi.

Pandangan Ramli juga senada dengan pernyataan Hakim Konstitusi Arief Hidayat yang menyatakan bahwa jika aturan royalti diberlakukan secara harfiah, maka Supratman bisa menjadi orang terkaya di Indonesia setiap bulan Agustus.

“Ini seperti pergeseran budaya dari semangat gotong royong ke kapitalisme individualistik,” ujarnya dalam sidang sebelumnya.

Di sisi lain, LMKN menyebut bahwa royalti tetap berlaku untuk penggunaan Indonesia Raya dalam pertunjukan komersial.

Merujuk pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 dan UU Hak Cipta, setiap karya yang digunakan untuk keperluan komersial wajib memberikan kompensasi kepada pemegang hak.

Namun, pemerintah menegaskan bahwa meskipun negara tetap wajib memberi penghargaan atas hak cipta, penggunaan untuk kepentingan nasional seperti upacara resmi dan siaran publik dibebaskan dari kewajiban izin maupun royalti.

Sementara itu, perdebatan soal royalti juga menyentuh sektor hiburan dan usaha. LMKN mengharuskan restoran, kafe, dan tempat usaha lain untuk membayar royalti jika memutar lagu musisi.

Tapi ada pengecualian. Band legendaris Dewa 19 misalnya, memberikan kebebasan kepada pemilik usaha yang ingin memutar lagu mereka secara gratis, selama mendapat izin melalui kontak langsung.

Kebijakan tersebut menjadi kontras menarik di tengah maraknya perdebatan soal hak cipta dan batas-batas komersialisasi karya seni, termasuk lagu kebangsaan.

Pemerintah sendiri terus mendorong masyarakat untuk mengenal dan menyanyikan Indonesia Raya dalam berbagai kesempatan tanpa takut terhalang urusan legalitas royalti.

“Ini bukan soal bisnis, ini soal identitas bangsa,” tegas Ramli dalam penutup keterangannya.

Share:

Related Post

Leave a Comment